Sabtu, 20 September 2008

Melihat Dunia Nyata

Bekerja di PKBI membuat saya benar-benar bisa melihat kehidupan nyata orang-orang yang selama ini biasanya saya saksikan kisah hidupnya di televisi atau baca di koran. Tapi beruntung sekarang saya bisa langsung berinteraksi dengan mereka. Tentu saja mereka bukan selebritis. Mereka biasanya adalah orang-orang yang menurut kebanyakan orang adalah kaum terpinggirkan, kurang beruntung, atau segenap stigmasisasi lain.
Hari minggu yang cukup terik dan berdebu kemarin saya bersama anggota tim yang lain menuju suatu lokasi di kabupaten Bandung untuk melakukan penyuluhan dan mobile VCT (Voluntary Counseling Test) untuk HIV test. Sasaran yang dituju kali ini adalah daerah tempat tinggal para pramu nikmat atau Pekerja Seks Komersial. Begitu saya sampai, sudah banyak berkumpul para wanita penghuni kontrakan-kontrakan di sekitar nya dan juga para pemuda setempat. Sepanjang melakukan penyuluhan, dalam hati kami merasa miris karena daerah ini benar-benar (maaf) kumuh. Di depan kamar2 kontrakan para PSK ini terdapat berjajar kandang kambing dan kandang ayam. Anjing berkeliaran di sekitar kami. Kami menyapa dan berinteraksi dengan mereka seperti layaknya kawan lama, sehingga mereka pun tak segan terbuka kepada kami. "Maaf ya Bu, tempatnya seperti ini", kata seorang ibu berusia di sekitar 40 tahun an. " Kalau mau pake kamar saya, silahkan aja, tapi kamarnya acak-acak an". Akhirnya kami meminjam kamar-kamar mereka untuk melakukan konseling tertutup. Sebuah kamar yang membuat hati trenyuh, hanya berukuran 2x3 m, lembab, gelap, dan furnitureless.
Ada seorang ibu berusia 45 tahun, yang masih berprofesi sebagai PSK. Dia berasal dari Jawa Tengah, sebelum menjalani profesi nya sekarang ini dia bekerja sebagai buruh pabrik tekstil di Cimahi, Jawa Barat. Setelah pabriknya gulung tikar sedangkan dia harus menanggung biaya hidup anak-anaknya terpaksa dia banting profesi jadi PSK. Walaupun cuma dapet sekitar 20 - 50 ribu tiap malam, dia merasa masih beruntung masih punya penghasilan untuk dikirim kepada keluarganya di kampung. " Yah, mau kerja apa lagi neng, Bunda mah udah tua" katanya sambil menghembuskan asap rokoknya.
Ada juga ibu berusia 54 tahun, sudah 25 tahun jadi PSK, udah punya cucu pula. Pada awalnya dia menolak dan takut untuk menjalani tes HIV, namun berkat kesabaran para konselor kami akhirnya dia bersedia menjalani tes HIV.
Usia termuda adalah 17 tahun, sedang hamil pula. Suaminya entah kemana, dia menangis ketika akan di ambil darah. Saya pegangi tangan nya, uhh dia masih sangat anak-anak. Saya lupa apa yang saya lakukan ketika saya berusia 17 tahun, pasti cuma belajar dan main. Sedangkan dia di usia semuda itu sudah harus menanggung beban hidup yang amat berat. Dalam hati saya menangis, bahkan ketika menulis blog ini juga air mata saya menetes lagi. Betapa beruntungnya saya... Dibalik semua kisah pilu yang saya alami (menurut pendapat saya), ternyata belum seujung kuku kisah sedih yang mereka alami.

Tidak ada komentar: