Minggu, 17 Februari 2013

Unforgettable Timor-Leste

Seumur hidup saya tidak pernah bermimpi atau mengidamkan suatu saat bisa menjejakkan kaki di bumi Timor Lorosae atau Timor Timur. Sejak jaman SD dan mengenal bahwa Timor Timur adalah provinsi ke 27 NKRI, di benak saya Timor Timur adalah sebuah provinsi yang jauh dan juga kurang maju. Sedangkan ketika saya masih kecil/remaja impian saya adalah tinggal di kota besar dimana saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan. Terlebih ketika situasi di Timor Timur pra referendum yang bergolak, saya bergidik membayangkan kengerian yang ada disana. Ketika akhirnya setelah referendum rakyat Timor Timur memutuskan berpisah dari Indonesia, saya sempat sedih, tapi akhir nya semua nya terlupakan sejalan dengan waktu.

Singkat cerita sepulang dari Jerman pada tahun 2010 lalu, saya luntang lantung tidak punya pekerjaan. Lamaran dan CV sudah saya kirimkan kesana kemari tapi belum ada yang positif. Sempat bertekad untuk bergabung sebagai staf pengajar di almamater saya (berapapun gajinya) saya pikir waktu itu.

Tapi memang semua nya sudah tertulis dari Yang Maha Kuasa. Suatu hari seorang sahabat saya (caro mio), atau sayang ku dalam bahasa Italia mengirimkan sebuah link tentang lowongan sebagai reproductive health technical specialist di suatu International NGO di Dili, Timor Leste. Seperti yang telah saya tulis di tulisan sebelumnya, saya malas-malasan untuk mengirimkan lamaran tersebut. Niat saya ketika waktu itu mengirimkan lamaran adalah menghargai il caro mio.

Lalu tak dinyana akhirnya saya diterima. Hmm, senang dan panik. Senang karena setelah hampir 3 bulan menganggur dan tanpa pemasukan akhirnya saya akan memperoleh gaji lagi (dalam US Dollar pula) dan akan merasakan pengalaman sebagai ekspatriat :D. Panik nya, owh ini kan Timor Leste, bukan Eropa. Saya sering bepergian ke luar negeri seorang diri tapi biasanya negara-negara maju yang semua nya sudah serba pasti dan teratur. Tapi ini sebuah negeri yang baru merdeka dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun dan masih mengalami pergolakan dalam negeri sebagai sebuah negara baru.

Saya membulatkan tekad, I have to try !!!! itu dalam hati saya. Setelah bertemu dengan mantan atasan saya yang amat baik Pak Lucas Pinxten, beliau berkata: just go for it!! that's the opportunity for a life time. Akhirnya OK, I'll go. Lagian cuma 4 bulan ini.

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Setelah sebelumnya berpusing-pusing mencari itenary menuju Dili. Dua tahun lalu, cara untuk menuju Dili adalah lewat Dempasar dan terus dari Denpasar kita menuju Dili. Tidak terlalu lama penerbangan nya. Hanya saja penerbangan dari Denpasar ke Dili hanya dilayani oleh 2 maskapai: Merpati Airlines dan Batavia Air (yang baru saja almarhum). Dan kedua penerbangan ini hanya terbang di waktu pagi hari. Hingga kalau saya mengejar pesawat dari Bandung, sulit terkejar.

Gambar ini adalah gambar sepanjang perjalanan dari bandara ke kos-an

Tepat tanggal 15 Januari 2011, saya tiba di Nicolao Lobato Airport, dulu pas jaman RI dikenal sebagai bandar udara Comoro karena memang terletak di daerah Comoro. Di sana boss saya sang Country Director yang cantik sudah menunggu. Saya keluar agak lama dari petugas kontrol karena saya belum mengisi kartu kedatangan. Oh iya, untuk masuk ke Timor Leste ini kita bisa menggunakan visa on arrival. Biaya nya USD 30 untuk 30 hari kunjungan. Kita bisa meng convert nya setelah tiba di Timor dengan visa kerja atau Special Stay. Tepat pukul 13.00 akhirnya saya meninggalkan bandara Comoro diantar oleh Dominique (sang boss) ke tempat kos saya di Dili. Disana saya tinggal bersama 2 orang gadis expatriates lain nya, yang satu berkebangsaan Jepang dan satu berkebagsaan Portugal.


Di depan kos an saya disambut seekor anjing dan di teras sebuah rumah yang cukup besar untuk ukuran Timor Leste. Lelah sekali akhir nya saya tidur tak lama setelah saya sampai, eh sebelumnya saya pergi ke supermarket sendirian untuk beli beberapa keperluan. Di sini transportasi yang available adalah sejenis angkutan kota dan taksi. Saya memilih taksi, yang biasanya harganya antara 1-2 USD.

Di hari pertama saya di Dili, saya berkenalan dengan tamu room mate saya, seorang pemuda Timor yang mengenyam pendidikan di Indonesia. Kami berbincang dalam Bahasa Indonesia. Di sini hampir semua orang masih bisa atau setidaknya mengerti Bahasa Indonesia.