Seperti lagunya Mary McGregor : Torn Between Two lovers, itulah yang saya rasakan saat ini. Bukan lovers dalam arti sesungguhnya (FYI saya penganut monogami sejati he he). Tapi saat ini saya dihadapkan pada keadaan dimana saya harus kembali memilih dan berkompromi.
Selulusnya dari studi saya September lalu saya memang memutuskan terjun didunia akademis (in the name of research and science) sehingga saya pun mencoba menawarkan sedikit pengetahuan saya ke sebuah universitas, dan alhamdulillah mesti masih berstatus dosen tidak tetap namun saya dapat tempat juga disana. Saya pun tidak lantas berdiam diri, sebuah paper kroyokan bersama kakak kelas dan supervisor saya yang berkaitan dengan topik tesis kami juga berhasil saya selesaikan dan berharap segera dapat diterbitkan. Berpuluh-puluh jurnal dan buku saya unduh untuk tetap membuat otak saya tidak beku (you will never stop learning, kata salah satu profesor saya kemarin). Perjalanan tidak berhenti disini, errr I need something for living, dan jujur status baru saya ini belum memberikan kenyamanan secara finansial namun saya bertekad akan tetap berada di jalur ini.
Bulan Oktober yang lalu kepercayaan diri saya sedang berada dititik terbawah. Pada bulan itu sekembalinyake tanah air saya sempat merasa tidak berguna, karena susah nya mencari pekerjaan di Indonesia. Universitas yang saya lamar, waktu itu belum memberi sinyal-sinyal menggembirakan meski sang Dekan menyatakan ketertarikan nya merekrut saya. Ditambah rumor-rumor dan realita di lapangan yang seolah menjelaskan " di Indonesia, mereka tidak akan pernah peduli kamu lulusaan luar negeri ataupun jika kamu lulus dari salah satu kampus terbaik di dunia sekali pun, jika kamu tidak punya channel atau kenalan". Well, saya tidak punya channel, saya hanya punya sedikit ilmu dan pengalaman untuk dibagi. Bulan itu saya juga sempat menjadi sangat sensitif di rumah, pertanyaan dari ayah saya soal pekerjaan saya rasakan sangat menusuk dan selalu membuat saya menangis. Seorang staf di sebuah universitas negeri di luar Jawa memberi informasi, kampus itu bisa mempertimbangkan bersedia merekrut saya jika orang tua saya menyiapkan sejumlah uang yang kisaran nya Rp 100 juta. "What's the hell with that,I will never give that bloody money just to make myself working". Itu yang saya katakan pada ibu saya. Sedih sekali saya, serasa perjuangan saya dengan darah, keringat, dan air mata di luar negeri tidak dihargai sama sekali. Tapi saya bertekad tidak akan menyerah pada keadaan.
Akhir bulan Oktober itu, sahabat baik saya dari Italia memberikan sebuah informasi vacancy di sebuah organisasi non profit yang berbasis di Seattle untuk posisi di Timor Leste. Ini sebuah posisi yang membutuh kan pengalaman dan skill yang cukup tinggi di bidang Kesehatan Reproduksi karena mesti membuat sebuah program menurunkan angka kematian Ibu untuk kementrian kesehatan Timor Leste . Terus terang saya sangat malas sekali untuk melamar karena saya sudah tidak tertarik lagi dengan bidang kesehatan reproduksi. Saya tidak tahu mengapa, tapi sejak bulan Januari ketika saya memutuskan akan menulis thesis tentang Dengue, saya jatuh cinta pada penyakit-penyakit tropis khusus nya dengue. Pengalaman saya bergabung dengan sebuah organisasi yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi membuat pengetahuan saya di bidang kesehatan reproduksi (kespro) dan HIV/AIDS memang telah membawa saya mendapat beasiswa, tapi sejak Januari lalu kisah cinta saya dengan kespro telah resmi berakhir. Hal ini yang membuat saya agak ogah-ogahan dalam mengisi aplikasi lamaran. Akhirnya aplikasi itu saya kirim juga sehari sebelum deadline. Alasan nya saya menghargai orang yang memberi informasi tersebut. I sent it and I forgot it.
Masuk bulan November, nampak ada tanda2 pencerahan. Lamaran saya di sebuah universitas direspons juga. Tugas pertama saya mendampingi ko asisten2 yang sedang field work. Bukan sesuatu hal yang besar, tapi saya cukup menikmatinya. Di "pagi hari" saat saya bangun tidur (ha ha sejak menjadi pengangguran saya sangat menikmati bangun siang), saya membaca email dari organisasi tadi bahwa mereka tertarik dengan CV saya dan menjadwalkan interview. Karena jarak yang tak memungkinkan interview langsung, akhirnya wawancara disepakati melalui skype.
Saya sebenarnya malas. Tidak seperti wawancara-wawancara sebelumnya, saya sama sekali tidak antusias. Saya cuma membaca sekilas tips2 wawancara dengan lembaga asing. Wawancara dijadwalkan sekitar jam 07.30 pagi yang berarti jadwal dimana biasanya saya bangun tidur. Jadilah wawancara pertama dilakukan masih dengan kaos butut dan sebelum menggosok gigi juga (ih jorok banget). Waktu itu sambungan internet dari Timor Leste sangat jelek, sehingga wawancara akhirnya dilakukan melalui instant messanger. I really didn't care about what I said during the interview, tapi sayup2 saya mendengar salah seorang pewawancara mengatakan kepada rekan nya "she is promising", hmm ada harapan tapi saya sudah tidak peduli sama sekali. Selama wawancara saya malah sibuk facebook-an dengan beberapa teman saya.
Surat ucapan terimakasih saya layangkan kepada para pewawancara dan mereka langsung merespons dengan wawancara ke-2. Wawancara kedua dilakukan ketika saya sedang berada di Yogyakarta. Saya juga masih tidak terlalu antusias. Di tengah wawancara, sahabat saya menawarkan sarapan nasi goreng, jadilah saya wawancara kerja sembari sarapan pagi, hihi it was strange, but it was so true.
Wawancara terakhir dilakukan dengan direktur program dari kator pusat di Seattle. Sambungan langsung dari USA ternyata sangat bagus, tidak ada alasan wawancara dilakukan via IM. Saya juga masih tidak peduli dengan jawaban-jawaban saya. Saya mengatakan dengan jujur bahwa saya jarang menolong orang melahirkan. Who cared if I got the job or not. Kembali sesudah nya email basa basi saya layangkan pada si ibu profesor pewawancara ini, dan tahukah ternyata pewawancara saya ini adalah seorang pengajar senior di Universitas Washington tentang maternal health (jadinya wawancara terakhir serasa ujian).
Beberapa hari kemudian ada email kembali, menyatakan bahwa perjanjian kerja akan segera dilakukan, dan mereka akan mengontak pemberi referensi. Saya agak tegang, tapi sebodo lah, amu dapet syukur, tidak juga tak apa-apa. Saya benar-benar nothing to lose. Yang lucu ketika harus mengisi biodata "past salary history" dalam USD. Saya mengisi bahwa selama setahun gaji saya dulu cuma xxxx USD, mereka mengkonfirmasi ulang bahwa saya harus menulis gaji saya dalam setahun, yah itu memang gaji saya dulu :(.
Dua hari kemudian, sebuah kontrak kerja resmi datang, lengkap beserta detail kompensasi yang akan mereka berikan. It's not too bad (untuk ukuran pemula), tapi berdasarkan saran beberapa rekan saya akhirnya meminta kenaikan 30% dari jumlah yang mereka tawarkan. Sebenarnya alasan utamanya adalah karena saya tidak begitu "klik" dengan bidang ini, tapi apa daya saya butuh uang hiks hiks.
Hari ini deal terakhir disepakati, mereka setuju kenaikan 25% dan saya pun setuju. Tapi diam-diam saya termenung, bagaimana saya akan melakukan pekerjaan ini jika cinta saya telah luntur. Saya selalu orang yang total dalam bekerja. Ketika saya dulu mulai berkarir di bidang Public Health khususnya kespro, saya belajar setiap hari sendiri untuk mendalami bidang ini. Saat ini saya malas untuk kembali membuka-buka buku tentang Maternal Health. Dari kemarin seharian, saya malah membaca buku epidemiologi penyakit infeksi. Saya merasa patah hati bakal menelantarkan hal ini untuk sementara. Setelah tesis yang penuh keringat dan air mata itu, saya makin cinta terhadap dengue. Walalupun nilai ujian saya tidak terlalu bagus, tapi sejak itu saya makin mendalami bidang ini dan tidak terlalu buruk satu joint paper sudah saya kerjakan dan hore yang terpenting saya makin mengerti. Saya tidak tahu kenapa saya jadi jatuh cinta begini. Apakah karena saya pernah jadi korban demam berdarah atau karena pembimbing nya? hehe. Saya tidak tahu jawaban nya.
Saat ini saya seperti didalam simpang jalan. For love or money.Kadang-kadang saya berbisik dalam hati: "I swear this is my last reproductive health business that I do", tapi saya juga ngeri gimana kalau pekerjaan-pekerjaan mendatang banyak dibidang ini sementara saya juga belum terlalu ahli dalam bidang pengendalian penyakit infeksi. Satu-satunya jalan adalah saya akan berusaha mengerjakan tugas ini sebaik-baiknya dan selama 3 bulan disana saya berjanji saya akan tetap belajar epidemiologi penyakit iinfeksi.
2 komentar:
hai Mba vita, mba dulu ketika apply DAAD sudah punya pengalaman kerja 2 tahun kah? Saya tahu itu salah satu syarat mutlak untuk memperoleh beasiswa DAAD, namun siapa tahu ada yang belum memiliki pengalaman ekrja 2 tahun tapi tetap diterima.
Thanks.
Halo Sabrina..Maaf baru di reply. Saya jarang nge blog lagi.. Iya kalo untuk Program Ppstgraduates for Professional in the developing countries emang pengalaman kerja minimal 2 tahun :)
Posting Komentar